Beritainfobreakinngnews.com – Tasikmalaya, Jawa Barat,- Harapan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur jalan melalui skema pinjaman daerah senilai Rp 230,25 miliar resmi kandas. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menolak pengajuan tersebut dalam rapat paripurna yang berlangsung dinamis, menggugurkan 24 proyek strategis yang telah dirancang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
Penolakan ini bukan sekadar soal angka. Di baliknya, tersimpan polemik yang memantik sorotan publik, terutama karena salah satu proyek yang batal adalah pembangunan ruas Ciwatin–Kalapagenep senilai Rp 24 miliar—akses utama yang diyakini mengarah ke kediaman pribadi Bupati Tasikmalaya. Sementara proyek terpanjang, Papayan–Cikalong, yang dirancang untuk membuka konektivitas antar kecamatan, dialokasikan Rp 37 miliar.
“Anggaran itu belum ideal. Kita baru bisa tangani 60 kilometer. Sisanya masih panjang,” ujar Deni Mulyadi, Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR, Senin (21/10/2025).
Menurut Deni, total panjang jalan rusak di Kabupaten Tasikmalaya mencapai ratusan kilometer. Skema pinjaman itu hanya mampu menutup sekitar 20 persen dari kebutuhan riil perbaikan, menjadikannya sebagai solusi parsial yang diharapkan bisa memicu percepatan pembangunan.
Jalur Strategis dan Pelosok Terancam Terabaikan
Dengan ditolaknya skema pinjaman, sejumlah ruas penting yang telah lama dinanti masyarakat terancam tak tersentuh pembangunan. Ruas-ruas tersebut bukan hanya penghubung antar kecamatan, tetapi juga jalur vital bagi ekonomi lokal, distribusi hasil pertanian, dan akses pendidikan.
Beberapa ruas yang batal dibangun antara lain:
- Ciawi–Singaparna
- Sukagalis–Ciponyo
- Cineam–Singkup
- Puspahiang–Mandalasari
- KH Muhammad Sabandi
- KH Umar Sanusi
- Dan belasan ruas lainnya yang tersebar di wilayah selatan dan timur kabupaten
Deni menegaskan bahwa tahun ini, fokus pembangunan diarahkan ke wilayah selatan yang selama ini tertinggal dibanding utara dan pusat. Wilayah selatan dikenal memiliki topografi yang menantang dan tingkat kerusakan jalan yang lebih parah.
“Selatan paling parah. Dulu pembangunan lebih condong ke Utara dan Pusat, sekarang kami ingin mengimbangi,” tegasnya.
Namun, tanpa dukungan anggaran tambahan, rencana pemerataan pembangunan itu terancam mandek.
DPRD: Pembangunan Lewat Utang yang Membebani
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Ami Fahmi, menyampaikan bahwa penolakan bukan berarti anti-pembangunan, melainkan bentuk kehati-hatian fiskal. Ia menilai skema pinjaman terlalu dipaksakan, mengingat Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya Rp 90 miliar per tahun.
“Kalau kita tidak punya uang, apakah harus memaksakan diri membangun?” ujarnya.
Dengan cicilan pinjaman yang diperkirakan mencapai Rp 70–80 miliar per tahun hingga 2030, beban fiskal dinilai terlalu berat. Ami juga mempertanyakan logika pembangunan yang hanya berlangsung satu tahun, sementara cicilan berlangsung lima tahun lebih.
“Mending tiap tahun bangun 15–20 kilometer, tapi tanpa beban bunga,” tambahnya.
Fiskal Nasional Labil, APBD Defisit
Kondisi fiskal nasional turut memengaruhi keputusan DPRD. Target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen hanya tercapai 4 persen, menyebabkan transfer dana pusat ke daerah terganggu. Akibatnya, APBD Kabupaten Tasikmalaya mengalami defisit sebesar Rp 94 miliar.
“Kalau kita ambil pinjaman sekarang, itu seperti makan gurame hari ini tapi besok hanya bisa makan ikan asin,” sindir Ami.
Ia menegaskan bahwa DPRD tetap mendukung pembangunan, namun menolak utang yang tidak disertai perhitungan matang dan strategi jangka panjang.
“Kami awasi seluruh kebijakan Bupati, bukan hanya proyek jalan. Jangan seolah-olah DPRD anti-pembangunan,” tutupnya.
Dampak Sosial dan Politik: Jalan Rusak, Kepercayaan Publik Tergerus?
Penolakan ini memunculkan pertanyaan lebih besar: bagaimana nasib masyarakat di pelosok yang selama ini bergantung pada akses jalan untuk aktivitas ekonomi dan sosial? Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa proyek-proyek yang batal justru menyasar wilayah yang selama ini kurang diperhatikan, memperkuat kesenjangan antar wilayah.
Sementara itu, sorotan terhadap ruas Ciwatin–Kalapagenep memunculkan aroma politis yang tak terhindarkan. Publik mempertanyakan apakah proyek tersebut benar-benar prioritas teknis atau justru sarat kepentingan pribadi.