Cinta dalam Kaidah Islam: Antara Kasih, Amanah, dan Ketundukan

Beritainfobreakingnews.com – Ambarawa, Jawa Tengah,- Di tengah arus modernisasi dan derasnya budaya populer yang seringkali mendefinisikan cinta sebagai hasrat atau kepemilikan, Islam hadir dengan pandangan yang jauh lebih dalam, luhur, dan bertanggung jawab. Cinta, dalam kaidah Islam, bukan sekadar perasaan yang menggebu, melainkan amanah yang harus dijaga, dimuliakan, dan diarahkan menuju ridha Allah SWT.

Cinta sebagai Rahmat dan Amanah

Dalam Al-Qur’an, cinta disebut sebagai bagian dari rahmat Allah. Firman-Nya dalam Surah Ar-Rum ayat 21 menyatakan:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram di sampingnya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang.”

Ayat ini menegaskan bahwa cinta bukan sekadar emosi, tetapi fondasi sakinah (ketenteraman), mawaddah (kasih sayang), dan rahmah (belas kasih). Tiga pilar ini menjadi landasan hubungan yang sehat dan berkah, baik dalam ikatan pernikahan maupun dalam relasi sosial yang lebih luas.

Cinta yang Tunduk pada Syariat

Islam tidak menolak cinta, tetapi mengarahkan dan membingkainya dalam koridor syariat. Cinta yang tidak dibingkai oleh tanggung jawab dan komitmen dapat berubah menjadi fitnah. Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya menjaga pandangan, menahan diri, dan menyampaikan cinta dengan cara yang terhormat.

Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan.” (HR. Ibnu Majah)

Pernikahan menjadi jalan utama dalam Islam untuk menyalurkan cinta secara halal dan bermartabat. Di sinilah cinta menjadi ibadah, bukan sekadar ekspresi perasaan.

Cinta kepada Sesama: Antara Empati dan Keadilan

Islam juga mengajarkan cinta kepada sesama manusia sebagai bentuk empati dan solidaritas. Cinta kepada orang tua, anak, sahabat, bahkan kepada umat manusia secara umum, adalah manifestasi dari akhlak mulia. Namun, cinta dalam Islam tidak boleh membutakan keadilan.

“Cintailah kekasihmu sekadarnya saja, boleh jadi suatu hari ia menjadi orang yang kamu benci.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini mengajarkan keseimbangan: cinta yang sehat adalah cinta yang tidak berlebihan, tidak menuntut kepemilikan mutlak, dan tetap berpijak pada akal serta nilai-nilai moral.

Cinta yang Menghidupkan, Bukan Membakar

Di era digital, cinta sering kali dipertontonkan secara vulgar, dijadikan komoditas, bahkan dijadikan alat manipulasi. Islam mengingatkan bahwa cinta sejati adalah yang menghidupkan jiwa, bukan yang membakar harga diri.

Cinta yang Islami adalah cinta yang mendorong seseorang untuk menjadi lebih baik, lebih taat, dan lebih peduli terhadap sesama. Ia bukan sekadar rasa, tetapi juga aksi: memberi, melindungi, dan mendoakan.

Penutup: Cinta sebagai Jalan Menuju Tuhan

Pada akhirnya, cinta dalam Islam adalah jalan menuju Tuhan. Ketika cinta diarahkan kepada Allah SWT, maka seluruh cinta lainnya akan menemukan tempatnya yang proporsional. Cinta kepada pasangan, keluarga, sahabat, bahkan kepada pekerjaan dan perjuangan, akan menjadi bagian dari ibadah.

Di tengah dunia yang sering kali memaknai cinta secara dangkal, Islam menawarkan kedalaman: cinta yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga membentuk karakter dan menghidupkan peradaban.

Penulis: Lisa Afrida Fachriany

logo-pers FORWAMA-resized-225x224

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *